Selasa, 10 April 2012

Pembahasan Mengenai Kritis Ekonomi


Pendahuluan :
A.    LATAR BELAKANG
         Krisis global adalah salah satu dilema yang sedang dihadapi Indonesia sejak dahulu hingga sekarang. Dan ini adalah dinamika kehidupan ekonomi yang tidak tetap perubahannya. Kadang sistem ekonomi dunia naik, kadang sistem ekonomi dunia merosot drastis. Ini menyebabkan gejolak besar bagi kehidupan ekonomi seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Akibat langsungnya adalah meledaknya harga kebutuhan pokok di Indonesia. Yang mana sebelumnya saja sudah menjepit dompet masyarakat dan kini semakin menekan sektor-sektor usaha yang menyediakan kebutuhan tersebut. Misalnya: Petani yang menyediakan sayur mayur kini kesulitan dalam mencari pupuk yang murah, padi menjadi kurang subur dan pasokan yang terbatas membuat harga beras melonjak. Ini adalah satu dari ribuan keluhan masyarakat dalam merasakan dampak buruk dari krisis global ini. Sehingga tema “Krisis Ekonomi Global” ini sangat cocok untuk menjadi bahan diskusi bagi mahasiswa karena mahasiswa juga mengalami dilema ini dalam hidupnya.
B.     TUJUAN PENULISAN
         Supaya mahasiswa dapat lebih kritis terhadap situasi krisis ekonomi global yang mana sekarang menjadi topik hangat dan dilema luar biasa bagi seluruh dunia. Paling tidak mahasiswa dapat memecahkan masalah kecil yang berhubungan dengan krisis ekonomi global tersebut. Diharapkan pula makalah ini dapat menjadi acuan belajar dalam mempelajari permasalahan ekonomi di Perguruan Tinggi.
Masalah Landasan Teori :
KRISIS EKONOMI GLOBAL




Krisis Ekonomi 1997 memporak-porandakan perekonomian global.Tidak memandang perekonomian negara berkembang ataupun negara maju.
Walaupun krisis ini lebih populer dikenal dengan sebutan "KRISIS ASIA",tetapi tidak hanya negara Asia saja yang terkena dampaknya.Semua terkena dampak dari krisis ini.Yang pada akhinya berdampak pada menurunnya kualitas kesejahteraan tiap warga negara.Ini disebabkan sektor moneter tidak pernah,dan tidak akan pernah,lepas kaitan dengan sektor riil.Karena,bagaimanapun,keberadaan sektor moneter dengan segala kebijakan dan berbagai lembaga keuangan yang menopangnya tidak bisa berdiri sendiri.Sehebat dan secanggih apapun sektor ini,pada dasarnya merupakan fasilitator bagi sektor real.Selanjutnya,kita akan melakukan analisis tentang dampak krisis ekonomi bagi Indonesia.
PENYEBAB KRISIS EKONOMI MENURUT IDENTIFIKASI PARA PAKAR :
1.Fenomena productivity gap (kesenjangan produktifitas) yang erat berkaitan dengan lemahnya alokasi aset ataupun faktor-faktor produksi.
2.Fenomena diequilibrium trap (jebakan ketidak seimbangan) yang berkaitan dengan ketidakseimbanagan struktur antarsektor produksi

3.
Fenomena loan addiction ( ketergantungan pada hutang luar negeri) yang berhubungan dengan perilaku para pelaku bisnis yang cenderung memobilisasi dana dalam bentuk mata uang asing (foreign currency)
DAMPAK KRISIS EKONOMI BAGI INDONESIA
Pada Juni 1997, Indonesia terlihat jauh dari krisis. Tidak seperti Thailand, Indonesia memiliki inflasi yang rendah, perdagangan surplus lebih dari 900 juta dolar, persediaan mata uang luar yang besar, lebih dari 20 milyar dolar, dan sektor bank yang baik.
Tapi banyak perusahaan Indonesia banyak meminjam dolar AS. Di tahun berikut, ketika rupiah menguat terhadap dolar, praktisi ini telah bekerja baik untuk perusahaan tersebut — level efektifitas hutang mereka dan biaya finansial telah berkurang pada saat harga mata uang lokal meningkat.
Pada Juli, Thailand megambangkan baht, Otoritas Moneter Indonesia melebarkan jalur perdagangan dari 8 persen ke 12 persen. Rupiah mulai terserang kuat di Agustus. Pada 14 Agustus 1997, pertukaran floating teratur ditukar dengan pertukaran floating-bebas. Rupiah jatuh lebih dalam. IMF datang dengan paket bantuan 23 milyar dolar, tapi rupiah jatuh lebih dalam lagi karena ketakutan dari hutang perusahaan, penjualan rupiah, permintaan dolar yang kuat. Rupiah dan Bursa Saham Jakarta menyentuh titik terendah pada bulan Septemer. Moody’s menurunkan hutang jangka panjang Indonesia menjadi “junk bond”.
Meskipun krisis rupiah dimulai pada Juli dan Agustus, krisis ini menguat pada November ketika efek dari devaluasi di musim panas muncul di neraca perusahaan. Perusahaan yang meminjam dalam dolar harus menghadapi biaya yang lebih besar yang disebabkan oleh penurunan rupiah, dan banyak yang bereaksi dengan membeli dolar, yaitu: menjual rupiah, menurunkan harga rupiah lebih jauh lagi.
Inflasi rupiah dan peningkatan besar harga bahan makanan menimbulkan kekacauan di negara ini. Pada Februari 1998, Presiden Suharto memecat Gubernur Bank Indonesia, tapi ini tidak cukup. Suharto dipaksa mundur pada pertengahan 1998 dan B.J. Habibie menjadi presiden.

Tahun 1965-1966 merupakan tahun yang kelam bagi masyarakat Indonesia, karena pada tahun itu Peristiwa Gerakan 30 September terjadi, para petinggi militer Indonesia ditangkap dan dibunuh oleh kelompok orang yang ingin mengkudeta pemerintahan saat itu, beberapa kantor pemerintahan (diantaranya kantor RRI) juga berhasil diduduki oleh kelompok yang mengatasnamakan PKI (Partai Komunis Indonesia). Situasi tersebut mengakibatkan kondisi politik, militer, sosial dan ekonomi menjadi sangat kacau. Terlebih memang pada tahun-tahun itu Indonesia mengalami krisis ekonomi yang begitu hebat karena pemerintah dibawah pemerintahan Soekarno tidak berhasil mengendalikan laju perekonomian saat itu, kondisi politik yang terus mengalami perubahan juga berdampak akan hal itu sehingga kepercayaan masyarakat kepada pemerintah mulai berkurang. Keadaan ekonomi saat itu mengalami stagflasi (stagnasi dan inflasi).

Pada bulan Agustus 1965 Soekarno menarik Indonesia dari hubungan-hubungan yang masih tersisa dengan dunia kapitalis (Dana Moneter Internasional/IMF, Interpol, Bank Dunia). Kini struktur sosial, politik, dan ekonomi bangsa Indonesia hampir runtuh. Inflasi sangat tinggi, dengan harga-harga barang naik sekitar 500 persen selama setahun itu.Diduga harga beras pada akhir tahun 1965 sedang naik sebesar 900 persen setiap tahun. Kurs pasar gelap untuk rupiah terhadap dolar Amerika jatuh dari Rp 5.100,00 pada awal tahun 1965 menjadi Rp 17.500,00 pada kuartal ketiga tahun itu dan Rp 50.000,00 pada kuartal keempat.

Rakyat kesulitan mendapat kebutuhan pokok. Defisit saldo neraca pembayaran dan defisit keuangan pemerintah sangat besar (1965 : defisit 200% APBN). Jumlah pendapatan pemerintah rata-rata Rp 151 juta (’55-65), sedangkan pengeluaran rata-rata 359 juta atau lebih dari 100% pendapatan. Kegiatan sektor pertanian dan sektor industri manufaktur relatif terhenti karena keterbatasan kapasitas produksi dan infrastruktur pendukung. Tingkat inflasi sangat tinggi, mencapai lebih dari 300 - 500% per tahun.

Ekonomi masyarakat Indonesia pada waktu itu yang sangat rendah mengakibatkan dukungan rakyat kepada Soekarno dan PKI meluntur. Inflasi yang mencapai 650% membuat harga makanan melambung tinggi, rakyat kelaparan dan terpaksa harus antri beras, minyak, gula, dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Beberapa faktor yang berperan kenaikan harga ini adalah keputusan Suharto-Nasution untuk menaikkan gaji para tentara 500% dan penganiayaan terhadap kaum pedagang Tionghoa yang menyebabkan mereka kabur. Sebagai akibat dari inflasi tersebut, banyak rakyat Indonesia yang sehari-hari hanya makan bonggol pisang, umbi-umbian, gaplek, serta bahan makanan yang tidak layak dikonsumsi lainnya; merekapun menggunakan kain dari karung sebagai pakaian mereka.

Faktor ekonomi ini menjadi salah satu sebab kemarahan rakyat atas pembunuhan keenam jenderal tersebut, yang berakibat adanya gerakan anti terhadap PKI dan timbul pembantaian orang-orang yang dituduh anggota PKI di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali serta tempat-tempat lainnya.
Pemerintah melakukan Devaluasi pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp 1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi. Kegagalan-kegagalan dalam berbagai tindakan moneter itu diperparah karena pemerintah tidak menghemat pengeluaran-pengeluarannya. Pada masa orde lama banyak proyek-proyek mercusuar yang dilaksanakan pemerintah, dan juga sebagai akibat politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara Barat. Sekali lagi, ini juga salah satu konsekuensi dari pilihan menggunakan sistem demokrasi terpimpin yang bisa diartikan bahwa Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis) baik dalam politik, ekonomi, maupun bidang-bidang lain.

Di kota-kota besar, kota-kota kecil, dan desa-desa kaum komuis maupun yang anti komunis merasa yakin akan cerita-cerita tentang sedang dipersiapkannya regu-regu pembunuh dan sedang disusunnya daftar calon para korbannya. Ramalan-ramalan, pertanda-pertanda, dan tindak kekerasan merajalela. Sejak akhir bulan September dengan berkumpulnya puluhan ribu tentara di Jakarta dalam rangka mempersiapkan peringatan Hari Angkatan Bersenjata pada tanggal 05 Oktober, dugaan-dugaan tentang akan terjadinya kudeta menjadi semakin santer. Pada tanggal 20 September,Yakni akhirnya mengumumkan bahwa angkatan darat menetang pembentukan “angkatan kelima”
Pada tanggal 30 September malam sampai 01 Oktober 1965 ketegangan-ketegangan meletus karena terjadinya percobaan kudeta di Jakarta.Pada tanggal 30 September 1965 malam struktur yang lemah tersebut hancur.Kejadian itu berlangsung berbulan-bulan sebelum akibat-akibatnya menjadi jelas, tetapi perimbangan kekuatan-kekuatan yang bermusuhan yang mendukung demokrasi terpimpin telah berakhir.

Memasuki tahun 1966 mengalami peralihan pemerintahan dari tangan Soekarno (Orde Lama) ke tangan Soeharto(Orde Baru) banyak kalangan menilai ini juga peralihan paham dari sosialis ke kapitalis. Kondisi saat itu benar-benar memperihatinkan bagi rakyat. Pemerintah melakukan beberapa sasaran kebijakan terutama untuk menekan kembali tingkat inflasi, mengurangi defisit keuangan pemerintah, dan menghidupkan kembali kegiatan produksi, termasuk ekspor yang sempat mengalami stagnasi pada Orde Lama. Presiden Soeharto memulai Orde Baru dalam dunia pemerintahan Indonesia dengan mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya. Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB, dan menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya.

Beberapa langkah-langkah yang diambil Soeharto yang berkaitan dengan social ekonomi pada awal pemerintahannya ialah meminjam dana moneter IMF untuk perbaikan ekonomi Indonesia, kemudian ada sedikit langkah diskriminasi bagi orang tionghoa yang pada saat itu disingkirkan dari dunia politik praktis dan pembatasan-pembatasan ruang gerak seperti pelarangan seni barongsai, tidak adanya Hari raya Imlek, dan pelarangan penggunaan bahasa mandarin. Langkah-langkah tersebut disinyalir diambil karena arah politik Soeharto lebih ke dunia barat (Amerika) sedangkan tionghoa merupakan paham komunis sosialis. Akan tetapi kondisi ini terus diperjuangkan oleh orang-orang Tionghoa sehingga orang tionghoa boleh tetap bergerak, dan justru pergerakan mereka berkembang di perekonomian Indonesia.






Sebenarnya, siapa saja yang meneliti realitas sistem ekonomi Kapitalis saat ini, akan melihatnya tengah berada di tepi jurang yang dalam, jika belum terperosok di dalamnya. Semua rencana penyelematan yang mereka buat tidak akan pernah bisa memperbaiki keadaannya, kecuali hanya menjadi obat bius yang meringankan rasa sakit untuk sementara waktu. Itu karena sebab-sebab kehancurannya membutuhkan penyelesaian hingga ke akarnya, bukan hanya menambal dahan-dahannya.

Prinsip dan akar masalahnya sebenarnya ada empat:

Pertama, dengan menyingkirkan emas sebagai cadangan mata uang, dan dimasukkannya dolar sebagai pendamping mata uang dalam Perjanjian Breetonword, setelah berakhirnya Perang Dunia II, kemudian sebagai substitusi mata uang pada awal dekade tujuhpuluhan, telah menyebabkan dolar mendominasi perekonomian global. Akibatnya, goncangan ekonomi sekecil apapun yang terjadi di Amerika pasti akan menjadi pukulan yang telak bagi perekonomian negara-negara lain. Sebab, sebagian besar cadangan devisanya, jika tidak keseluruhannya, dicover dengan dolar yang nilai intrinsiknya tidak sebanding dengan kertas dan tulisan yang tertera di dalamnya. Setelah euro memasuki arena pertarungan, baru negara-negara tersebut menyimpan cadangan devisanya dengan mata uang non-dolar, meski dolar tetap saja memiliki prosentase terbesar dalam cadangan devisa negara-negara tersebut secara umum.

Karena itu, selama emas tidak menjadi cadangan mata uang, maka krisis ekonomi seperti ini akan terus terulang. Sekecil apapun krisis yang menimpa dolar, maka krisis tersebut akan dengan segera menjalar ke perekonomian negara-negara lain. Bahkan dampak krisis politik yang dirancang Amerika juga akan berakibat terhadap dolar, dengan begitu juga berdampak pada dunia. Kondisi seperti akan bisa saja menimpa uang kertas negara manapun yang mempunyai kontrol terhadap negara lain.

Kedua,
hutang-hutang riba juga menciptakan masalah perekomian yang besar, hingga kadar hutang pokoknya menggelembung seiring dengan waktu, sesuai dengan prosentase riba yang diberlakukan kepadanya. Akibatnya, ketidakmampuan individu dan negara dalam banyak kondisi menjadi perkara yang nyata. Sesuatu yang menyebabkan terjadinya krisis pengembalian pinjaman, dan lambannya roda perekonomian, karena ketidakmampuan sebagian besar kelas menengah dan atas untuk mengembalikan pinjaman dan melanjutkan produksi.

Ketiga,
sistem yang digunakan di bursa dan pasar modal, yaitu jual-beli saham, obligasi dan komoditi tanpa adanya syarat serah-terima komuditi yang bersangkutan, bahkan bisa diperjualbelikan berkali-kali, tanpa harus mengalihkan komoditi tersebut dari tangan pemiliknya yang asli, adalah sistem yang batil dan menimbulkan masalah, bukan sistem yang bisa menyelesaikan masalah, dimana naik dan turunnya transaksi terjadi tanpa proses serah terima, bahkan tanpa adanya komiditi yang bersangkutan.. Semuanya itu memicu terjadinya spekulasi dan goncangan di pasar. Begitulah, berbagai kerugian dan keuntungan terus terjadi melalui berbagai cara penipuan dan manipulasi. Semuanya terus berjalan dan berjalan, sampai terkuak dan menjadi malapetaka ekonomi.

Keempat, perkara penting, yaitu ketidaktahuan akan fakta kepemilikan. Kepemilikan tersebut, di mata para pemikir Timur dan Barat, adalah kepemilikan umum yang dikuasai oleh negara, sebagaimana teori Sosialisme-Komunisme, dan kepemilikan pribadi yang dikuasi oleh kelompok tertentu. Negara pun tidak akan mengintervensinya sesuai dengan teori Kapitalisme Liberal yang bertumpu pada pasar bebas, privatisasi, ditambah dengan globalisasi.

Ketidaktahuan akan fakta kepemilikan ini memang telah dan akan menyebabkan goncangan dan masalah ekonomi. Itu karena kepemilikan tersebut bukanlah sesuatu yang dikuasai oleh negara atau kelompok tertentu, melainkan ada tiga macam:

Kepemilikan umum meliputi semua sumber, baik yang keras, cair maupun gas, seperti minyak, besi, tembaga, emas dan gas. Termasuk semua yang tersimpan di perut bumi, dan semua bentuk energi, juga industri berat yang menjadikan energi sebagai komponen utamanya.. Maka, negara harus mengekplorasi dan mendistribusikannya kepada rakyat, baik dalam bentuk barang maupun jasa.

Kepemilikan negara adalah semua kekayaan yang diambil negara, seperti pajak dengan segala bentuknya, serta perdagangan, industri dan pertanian yang diupayakan oleh negara, di luar kepemilikan umum. Semuanya ini dibiayai oleh negara sesuai dengan kepentingan negara.

Kemudian kepemilikan pribadi, yang merupakan bentuk lain. Kepemilikan ini bisa dikelola oleh individu sesuai dengan hukum syara’.

Menjadikan kepemilikan-kepemilikan ini sebagai satu bentuk kepemilikan yang dikuasai oleh negara, atau kelompok tertentu, sudah pasti akan menyebabkan krisis, bahkan kegagalan. Begitulah, akhirnya teori Sosialisme gagal dalam bidang ekonomi, karena telah menjadikan semua kepemilikan dikuasai oleh negara. Sosialisme memang berhasil dalam perkara yang memang dikuasai oleh negara, seperti industri berat, minyak dan sejenisnya. Namun, gagal dalam perkara yang memang seharusnya dikuasai oleh individu, seperti umumnya pertanian, perdagangan dan industri menengah.. Kondisi inilah yang mengantarkan pada kehancuran.. Kapitalisme juga gagal, dan setelah sekian waktu, kini sampai pada kehancuran. Itu karena Kapitalisme telah menjadikan individu, perusahaan dan institusi berhak memiliki apa yang menjadi milik umum, seperti minyak, gas, semua bentuk energi dan industri senjata berat sampai radar. Sementara negara tetap berada di luar pasar dari semua kepemilikan tersebut. Itu merupakan konsekuensi dari ekonomi pasar bebas, privatisasi dan globalisasi.. Hasilnya adalah goncangan secara beruntun dan kehancuran dengan cepat, dimulai dari pasar modal menjalar ke sektor lain, dan dari institusi keuangan menjalar ke yang lain..

Begitulah, Sosialisme-Komunisme telah runtuh, dan kini Kapitalisme sedang atau nyaris runtuh..
Sesungguhnya sistem ekonomi Islamlah satu-satunya solusi yang ampuh dan steril dari semua krisis ekonomi. Karena sistem ekonomi Islam benar-benar telah mencegah semua faktor yang menyebabkan krisis ekonomi:

Ia telah menetapkan, bahwa emas dan perak merupakan mata uang, bukan yang lain. Mengeluarkan kertas substitusi harus dicover dengan emas dan perak, dengan nilai yang sama dan dapat ditukar, saat ada permintaan. Dengan begitu, uang kertas negara manapun tidak akan bisa didominasi oleh uang negara lain. Sebaliknya, uang tersebut mempunyai nilai intrinsik yang tetap, dan tidak berubah.

Sistem ekonomi Islam juga melarang riba, baik nasiah maupun fadhal, juga menetapkan pinjaman untuk membantu orang-orang yang membutuhkan tanpa tambahan (bunga) dari uang pokoknya. Di Baitul Mal kaum Muslim juga terdapat bagian khusus untuk pinjaman bagi mereka yang membutuhkan, termasuk para petani, sebagai bentuk bantuan untuk mereka, tanpa ada unsur riba sedikitpun di dalamnya.

Sistem ekonomi Islam melarang penjualan komoditi sebelum dikuasai oleh penjualnya, sehingga haram hukumnya menjual barang yang tidak menjadi milik seseorang. Haram memindahtangankan kertas berharga, obligasi dan saham yang dihasilkan dari akad-akad yang batil. Islam juga mengharamkan semua sarana penipuan dan manipulasi yang dibolehkan oleh Kapitalisme, dengan klaim kebebasan kepemilikan.

Sistem ekonomi Islam juga melarang individu, institusi dan perusahaan memiliki apa yang menjadi kepemilikan umum, seperti minyak, tambang, energi dan listrik yang digunakan sebagai bahan bakar... Islam menjadikan negara sebagai penguasanya sesuai dengan ketentuan hukum syara’.
Analisis mengenai terjadinya krisis di Asia, termasuk Indonesia, banyak dilakukan sejak timbulnya gejolak yang berkembang menjadi krisis ini. Saya kira hal ini akan berlangsung cukup lama; menganalisis mengenai sebab tedadinya, pola-pola proses terjadinya, kesamaan dan perbedaan kasus yang satu dengan yang lain, mengapa demikian dan bagaimana menghindarinya di masa depan atau apa yang dapat diambil sebagai pelajaran dari krisis ini. Berbagai pakar terkenal dari berbagai universitas ataupun lembaga-lembaga penelitian di A.S., Eropa dan Asia telah, sedang dan akan melakukan studi mengenai permasalahan ini. Nama-nama ahli ekonorni terkemuka, seperti Paul Krugman, Rudi Dombusch, Martin Feldstein, Fred Bergsten, Jeffrey Sachs, Stanley Fischer dan banyak yang lain telah memenuhi media cetak dan elektronik yang menyebar luaskan pandangan atau analisis mereka mengenai permasalahan ini. Kebanyakan tulisan mereka dapat diikuti dari internet dengan mudah. Saya sendiri baru saja pulang dari perjalanan selama lebih dari satu bulan di berbagai negara, memenuhi berbagai undangan pertemuan yang membahas masalah serupa.
Saya tidak akan membahas pendapat-pendapat tersebut, kecuali secara singkat mencoba mensarikan bagaimana kita menerangkan apa yang terjadi. Kalau dilihat dari proses terjadinya, krisis tersebut didahului oleh suatu euphoria, adanya pertumbuhan yang tinggi dalam kurun waktu yang lama yang digambarkan sebagai economic miracle a.l. oleh Bank Dunia) timbul perkembangan yang menampakkan tanda-tanda adanya bubbles seperti ekspansi real estates yang kelewat besar dan pertumbuhan pasar saham yang luar biasa bersamaan dengan masuknya dana luar negeri berjangka pendek secara berlebihan). Dalam keadaan tersebut kemudian timbul gejolak yang menyebabkan suatu distress dan melalui dampak penularan yang sistemik (contagion effects) menjadi crisis. Krisis tersebut semula terjadi di sektor keuangan-perbankan, kemudian melebar menjadi krisis ekonomi yang secara sistemik melebar menjadi krisis sosial, politik dan akhimya krisis kepemimpinan nasional. Ini mungkin lebih tepat untuk digunakan menggambarkan perkembangan krisis di Indonesia, akan tetapi secara umum apa yang terjadi di negara-negara lain di Asia, terutama Thailand dan Korea Selatan, juga serupa.
Uraian saya dimulai dengan menyajikan terjadinya krisis secara kronologis. Akan tetapi, secara analitis saya berpendapat bahwa krisis ini terjadi karena timbulnya gejolak ekstern yang melalui proses dampak penularan yang sistemik melanda ekonomi nasional. Dengan struktur keuangan yang masih lemah, maka perkembangan tersebut menimbulkan krisis yang meluas, dari ekonomi-moneter ke seluruh aspek kehidupan masyarakat. Proses penularan ini terjadi karena lemahnya struktur ekonomi, tatanan sosial, hukum dan politik yang mempertajam masalah ini menjadi sistemik. Setelah itu saya akan membahas berbagai hal yang menyangkut pelajaran apa yang dapat kita tarik bagi para pelaku; para perumus kebijaksanaan, dunia usaha utamanya sektor keuangan dan masyarakat luas, termasuk dunia akademi.
Uraian, cacatan ataupun pesan ini saya kemukakan dengan harapan untuk memadukan upaya kita bersama, seluruh unsur yang mendukung gerakan reformasi total, guna keluar dari krisis ini, agar dalam waktu yang tidak terlalu lama dan korban yang tidak terlampau besar, mampu mengembalikan kehidupan ekonomi nasional tagi dengan sikap baru, hasil dari langkah-langkah pembaruan bangsa yang didambakan oleh gerakan reformasi.
DARI KRISIS MONETER KE KRISIS TOTAL
Seperti disinggung di atas, perdebatan mengenai krisis keuangan atau krisis ekonomi di Asia ini masih beriangsung. Studi dan seminar untuk memeperdebatkan mengenai berbagai aspek dari permasalahan ini nampaknya masih akan bedalan sampai beberapa waktu.
Krisis itu sendiri di dalam laporan IMF, World Economic Outlook yang baru digolongkan menjadi berbagai jenis, seperti currency crisis, banking crisis, sistemic financial crisis dan foreign debt crisis. Dari segi asal timbulnya krisis laporan ini nampaknya menggambarkan bahwa, pada dasarnya krisis merupakan akibat dari gejolak finansial atau ekonomi dalam perekonomian yang mengidap kerawanan. Kerawanan perekonomian bisa terjadi karena unsur-unsur yang pada dasarnya bersifat internal, seperti kebijaksanaan makro yang tidak sustainable, lemahnya atau hilangnya kepercayaan terhadap mata uang dan lembaga keuangan dan ketidak stabilan politik, atau yang berasal dari faktor eksternal, seperti kondisi keuangan global yang berubah, misalignment dari nilai tukar mata uang dunia (dollar dengan yen), atau perubahan cepat dari sentimen pasar yang meluas karena herd instinct dari pelaku dunia usaha.
Dewasa ini pandangan-pandangan mengenai sebab timbulnya krisis yang beraneka ragam tersebut, mungkin dapat digolongkan menjadi dua kelompok; pertama yang mengatakan bahwa sebab utamanya adalah masalah internal ekonomi nasional, terutama lemahnya lembaga keuangan (perbankan). Ini pokok dari argumentasi Paul Krugman, ahli ekonomi kenamaan dari Stanford University. Kedua, yang mengatakan bahwa krisis ini timbul dari perubahan sentimen pasar, masalah eksternal, yang diperkuat dengan contagion effects. Ini berasal dari Jeffrey Sachs, ahli ekonomi dari Harvard University.
Saya melihat bahwa apa yang terjadi di Indonesia dimulai dengan dampak dari proses penularan, dimana rupiah tertekan di pasar mata uang setelah dan bersamaan dengan apa yang terjadi di negara-negara tetangga, dimulai dengan depresiasi yang drastis dari baht Thailand. Akan tetapi kemudian dengan langkah kebijakan yang dilakukan dan implikasi dari padanya (pelebaran rentang kurs intervensi, pengambangbebasan rupiah, intervensi BI dan pengetatan likuiditas), terjadi proses yang bersifat downward spiral dari proses penularan, sehingga gejolak kurs rupiah menjalar menjadi masalah tertekannya perbankan (karena kelemahan sektor ini). Ketidakpercayaan terhadap rupiah menjalar menjadi ketidak percayaan terhadap perbankan (adanya flights to quality danflights to safety) yang menimbulkan krisis perbankan. Dalam keadaan ini bank tidak hanya ditinggalkan deposan akan tetapi juga ditinggalkan bank lain (terganggunya pasar uang antar bank yang tersekat-sekat), termasuk akhirnya bank-bank mitra usaha di luar negeri (penolakan L/C dari bank nasional oleh bank luar negeri). Krisis perbankan kemudian menjalar ke pada nasabah mereka (mahalnya atau hilangnya kredit bank), sehingga masalah sektor keuangan langsung berpengaruh negatif terhadap sektor riil (kegiatan konsumsi, produksi, perdagangan dan investasi). Dari perkembangan ini secara cepat krisis keuangan ini menjadi krisis sosial (perusahaan yang tidak memperoleh pinjaman bank mulai melakukan PHK terhadap karyawannya), dan kemudian menimbulkan krisis dalam kehidupan politik yang memuncak dengan terjadinya krisis kepemimpinan nasional yang sampai sekarang belum terselesaikan.
Mengenai perkembangan terjadinya krisis, mungkin secara kronologis dapat disebutkan secara singkat, apa yang terjadi sejak bulan Juli 1997, sebagai berikut :
  1. tertekannya nilai tukar rupiah setelah terjadi hal yang serupa terhadap baht Thailand yang diikuti dengan pengambangan baht tanggal 2 Juli 1997 dan peso Pilipina 11 Juli 1997.
  2. dilakukan pelebaran kurs intervensi rupiah dari 8% menjadi 12% pada 11 Juli 1997, setelah dilakukan pelebaran sebanyak enam kali sejak 1994.
  3. dilakukan penghapusan rentang kurs intervensi atau pengambangbebasan rupiah pada tanggal 14 Agustus 1998.
  4. dilakukan intervensi dalam pasar valas menghadapi tekanan yang timbul baik setelah pelebaran kurs intervensi maupun setelah 14 Agustus 1997. Hal ini diikuti dengan langkah-langkah yang biasa dilakukan untuk mempertahankan kurs dengan intervensi, yaitu pengetatan likuiditas melalui kebijakan moneter dan fiskal dengan berbagai bentuknya (penundaan pengeluaran anggaran, peningkatan suku bunga SBI dan pengubahan deposito milik BUMN ke dalam SBI).
  5. langkah -langkah kebijakan makro dan sektoral 3 September 1997, suatu "self imposed IMF program "
  6. keputusan untuk meminta bantuan IMF awal Oktober 1997.
  7. perundingan dengan IMF yang menghasilkan 'letter of intent' pertama, 31 Oktober 1997, dari precautionary menjadi standby arrangement. Program yang akan diimplementasikan meliputi kebijakan pengendalian moneter dan nilai tukar, langkah-langkah fiskal, restrukturisasi sektor keuangan dan restrukturisasi sektor riil.
  8. kebijakan pencabutan ijin usaha 16 bank dan implikasinya.
  9. pencairan pinjaman tahap pertama $3 milyar dari pinjaman IMF $10 milyar sebagai bagian dari paket $43 milyar. Intervensi pasar valas bersama Jepang dan Singapore yang berhasil, kemudian implementasi program dengan dukungan IMF yang kurang lancar (masalah tuntutan terhadap Gubernur BI dan Menkeu di PTUN, ketidakjelasan pelaksanaan penghapusan monopoli dan penundaan proyek-proyek serta pelaksanaan kebijakan moneter yang seret) dan reaksi pasar yang negatif
  10. proses terjadinya 'letter of intent' kedua, 15 Januari 1998, didahului dengan desakan G7.
  11. reaksi pasar terhadap kemungkinan pencalonan Habibie sebagai Wapres.
  12. pelaksanaan restrukturisasi perbankan dengan pemberian garansi terhadap semua deposito, giro, tabungan dan pinjaman perbankan serta pendirian BPPN.
  13. heboh CBS, usulan Steve Henke, dan implikasi yang ditimbulkan.
  14. keputusan BPPN membekukan 7 bank serta melaksanakan pengawasan intensif terhadap 7 bank lain.
  15. perundingan Pemerintah dengan IMF yang menghasilkan "Memorandum Tambahan tentang Kebijaksanaan Ekonomi dan Keuangan", yang ditanda tangani Menko Ekuin pada tanggal 9 April 1998.
  16. pencairan pinjaman tahap ke dua sebesar $1 milyar.
  17. penyelesaian pinjaman swasta dengan berbagai perundingan di Tokyo, New York dan Frankfurt
  18. Pengumuman Kabinet Reformasi dan pemberian status independen ke pada Bank Indonesia setelah pergantian Presiden dari Soeharto ke Habibie.
Mungkin berkaitan dengan apa yang terjadi serta langkah kebijaksanaan yang dilakukan dapat dikemukakan berbagai kejadian dan tindakan yang memerlukan kejelasan mengenai mengapa tejadi demikian, atau dari kebijaksanaan yang diambil mengapa suatu langkah tertentu diambil, mengapa bukan langkah yang lain. Berbagai hal dibawah mungkin menarik untuk dibahas (dikemukakan di sini bukan untuk mendukung atau menolak, tetapi untuk menarik pelajaran yang berguna di masa depan atau untuk pengembangan pendekatan. Pada berbagai kesempatan diskusi mengenai permasalahan-permasalahan ini perlu dilakukan):
  • mengenai pengambangan bebas rupiah; mengingat dampak yang begitu meluas, apakah tidak sebaiknya diterapkan sistim lain? Ini menyangkut diskusi mengenai sistim pengelolaan kurs, apakah tetap atau fleksibel, diikat pada suatu mata uang atau basket. Apakah CBS bukan altematif yang dapat diterapkan?
  • mengenai aliran modal; apakah pengaturan bukan merupakan altematip yang terbuka?
  • mengenai restrukturisasi perbankan; apakah penutupan 16 bank memang harus dilakukan? Apakah tindakan BI melakukan penyelamatan perbankan dengan bantuan likuiditas merupakan tindakan yang tepat? Apa ada cara lain yang perlu ditempuh?
  • mengenai peran IMF apakah meminta bantuan IMF merupakan langkah yang tepat atau apakah ada altematif lain? Bagaimana sikap terhadap bantuan IMF?
  • mengenai pinjaman swasta; mengapa terjadi pembengkakan pinjaman perusahaan swasta? Mengapa dibiarkan terjadi? Apakah BI tidak mengetahui?
  • mengenai pengelolaan moneter; apa makna dan implikasi memberikan otonorni ke pada bank sentral?
Dalam berbagai kesempatan saya akan membahas atau membuat catatan mengenai berbagai permasalahan di atas, sebagian untuk menjelaskan apa yang tejadi dan mengapa dilakukan atau tidak dilakukan suatu langkah tindakan pada waktu yang bersangkutan, sebagian merupakan jawaban ke pada berbagai kritik yang dilancarkan, yang tidak selalu tepat. Sebagian mungkin merupakan pertanggung jawaban saya sebagai penanggung jawab dari berbagai kebijakan yang diambil selama menjalani jabatan saya.
Apa yang dapat dipetik sebagai pelajaran dafi krisis yang tedadi ini? Saya ingat pada teman saya, Dr Andrew Sheng, Deputy Chief Executive, Hongkong Monetary Authority yang menyebutkan adanya dua pelajaran yang dapat ditarik. Saya sangat sependapat dengan dua palajaran tersebut, yaitu pertama, the sooner the better. Ini dalam hal menyadari dan mengidentifikasi secara akurat mengenai masalah yang dihadapi dan kemudian menanganinya secara tepat, cepat dan konsisten. (Ingat, dalam kasus Indonesia, berkali-kali dikemukakan berbagai pihak secara tepat mengenai tidak nampak adanya sense of crisis dari pemerintah maupun dari sebagian masyarakat). Karena cepatnya perkembangan dan sifatnya yang menular (contagious), maka semakin tertunda penanganannya, semakin besar pula masalahnya, demikian pula biaya atau korban yang timbul dari upaya penyelesaiannya. Saya dapat melihat hal ini secara jelas dari pengalaman menangani masalah perbankan, semakin tertunda penyelesaiannya, semakin rumit masalahnya, semakin mahal biayanya. Kedua, the problems are always worse than expected. Ini berlaku bagi otorita yang bertanggung jawab menangani maupun dunia usaha ataupun pakar yang menggampangkan masalahnya dengan mengusulkan jalan keluar yang tidak operasional.
Nampaknya baik dalam penanganan terhadap krisis ekonomi maupun masalah politik, pimpinan nasional di bawah mantan Presiden Soeharto kurang memahami pelajaran ini, artinya pada dasarnya tidak bersedia menerima pernilaian yang akurat, karena kenyataan yang tidak enak. Atau terlambat menerima kenyataan, dan masalahnya telah menjadi sangat besar, sehingga upaya penyelesaiannya tidak memadai, too little and too late, kata orang. Dan atau menganggap enteng masalahnya. Kalau masalah yang dihadapi memang kompleks dan rumit, cara menjelaskan yang disederhanakan memang menolong kita untuk menunjukkan arah penyelesaiannya. Akan tetapi ini tidak berarti bahwa masalahnya kemudian berubah menjadi sederhana atau gampang, jalan keluar yang efektif juga tidak sederhana. Kita harus berani menerima bahwa masalahnya lebih besar dari yang kita harapkan atau perkirakan. Karena tidak tanggap terhadap pelajaran ini, maka konsekuensinya yang pahit harus diterima.
Menghadapi ekonomi pasar yang semakin bebas dan terbuka secara global kedua pelajaran tersebut harus diperhatikan. Bahkan perkembangan menunjukkan, bahwa kehidupan sosial politik yang semula serba bisa diatur telah mengalami perubahan yang menampakkan sifat serupa ekonomi pasar yang menuntut pimpinan nasional tanggap terhadap kedua hal di atas, atau menerima konsekuensinya kalau meremehkannya. Pimpinan sekarang akan mengalami nasib serupa, kalau tidak mau belajar dari pengalaman ini.
MELIHAT KE DEPAN.
Dalam keadaan ini melihat prospek ekonomi nasional sangat sulit dilakukan, kecuali perasaan yang mengatakan ballwa masalahnya sangat berat dan keadaan ini diperkirakan akan berjalan lama. Akan tetapi ini sangat tidak memuaskan. Seberat apapun, kita harus mempunyai perkiraan dan ekspektasi, kalau tidak berani melakukan prediksi, mengenai bagaimanakah prospek ekonomi nasional kita, jangka pendek maupun yang lebih panjang.
Memang harus diakui bahwa, dalam perkembangan yang sangat cepat ini masa depan semakin mengandung sifat tidak pasti. Ini yang menjadikan orang semakin myopic, hanya marnpu melihat keadaan yang sangat dekat dengan dirinya. Kalu disertai sikap seolah-olah tiada hari esok (aji mumpung), hal ini dapat menumbuhkan perilaku seseorang atau kelompok yang merugikan kepentingan yang lebih besar atau dalam jangka panjangnya, meskipun seolah-olah menguntungkan saat ini atau bagi yang melakukan. Dihadapkan kepada situasi seperti ini ada yang berpendapat bahwa mempelajari sejarah, mempelajari pengalaman masa lalu tidak ada manfaatnya, karena masa depan kan tidak pasti, yang pasti justru perubahan itu sendiri. Orang yang ambisinya kelewat besar, tidak sesuai dengan kemampuannya, mengatakan those who study history don't make history. Saya berpendapat bahwa mempelajari pengalaman masa lalu tetap berguna, bahkan dalam dunia yang terus mengalami perubahan. Memang untuk mempersiapkan diri guna menghadapi masa depan yang tidak menentu, belajar sejarah seolah-olah tidak ada gunanya. Akan tetapi dengan mempelajari pengalaman yang lalu kita masih memperoleh manfaat, yaitu kemampuan untuk tidak membuat kesalahan yang serupa.
Jadi bagaimana kita menghadapi krisis ini? Untuk saya, yang penting pada taraf permulaannya adalah memiliki peta yang jelas dari seluruh masalah yang dihadapi oteh bangsa ini, baik aspek ekonomi, sosial maupun politik. Kita semakin yakin bahwa aspek-aspek kehidupan ini memang terkait yang satu dengan yang lain. Tetapi setelah gambaran atau peta masalah tadi menjadi jelas, kita perlu menyadari bahwa tidak mungkin semua dilaksanakan segera dan bersamaan. Dengan lain perkataan perlu dibuat prioritas. Ini bukan pekerjaan yang mudah. Akan tetapi kalau gambarannya jelas, termasuk kaitannya yang satu dengan yang lain, menyusun prioritas untuk dijadikan program saat ini dan selanjutnya, jangka pendek, menengah dan panjang akan menjadi lebih gampang. Setelah itu program harus dilaksanakan secara berdisiplin. Ada teman yang mengatakan, we need good programs, good implementation and....... good luck. Ini harus disertai catatan, the sooner the better, the longer the costlier.
Dalam hal penentuan prioritas, saya berpendapat bahwa terlebih dahulu bangsa kita harus keluar dari krisis yang telah secara total melanda kehidupan ini. Ibarat orang sakit, saat krisis harus dilalui dahulu dengan menciptakan kestabilan. Pendarahan harus dihentikan dahulu. Masalah krisis itu sendiri dari segi penanganannya masih berkisar pada belum adanya kepercayaan yang mantap. Untuk seturuh kehidupan dalam masyarakat, krisis yang harus dihentikan dulu adalah kepercayaan kepada pimpinan nasional, pemerintah dan lembaga tinggi negara. Saya berpendapat bahwa krisis kepercayaan ini bersumber, bukan pada landasan hukum formalnya, konstitusional atau tidaknya, akan tetapi lebih pada legitimasinya. Presiden dan seluruh anggota kabinet, lembaga legislatif dan judikatif serta ABRI masih belum memperoleh kepercayaan tersebut secara penuh. Ini aspek diluar ekonomi yang sangat penting harus diselesaikan. Perlu saya berikan catatan di sini, pada waktu kepercayaan itu masih ada, pelaku pasar tidak terlalu menuntut, mereka menerima berbagai kekurangan yang tejadi. Akan tetapi pada waktu kepercayaan telah hilang, maka tuntutan mereka semakin banyak, menyangkut berbagai aspek diluar ekonomi-keuangan. Kita memang bisa mengatakan, tidak mau didekte pasar. Tetapi masalahnya bukan didikte atau tidak oleh pasar atau oleh IMF. Kenyataannya adalah bahwa pelaku pasar: para investor, para kreditor, atau mitra usaha akan terus menunggu sampai masalah yang berkaitan dengan aspek-aspek ini diselesaikan.
Dalam bidang ekonomi, kepercayaan pasar, baik domestik maupun asing serta kepercayaan masyarakat luas sangat tipis terhadap rupiah yang masih lemah dan tidak kunjung menguat. Hal serupa tejadi dengan perbankan dan lembaga keuangan yang lain, serta kemampuan dunia usaha dalam menyelesaikan masalah pinjaman mereka. Ini memang harus ditunjukkan penanganannya yang menggambarkan bagaimana prospeknya. Jelas tidak semuanya dapat diselesaikan segera, akan tetapi program penyelesaian harus dapat dibaca dan diterima oleh pasar. Mungkin perlu disadari bahwa persepsi dan ekspektasi pelaku pasar dalam negeri dan luar negeri itu tidak selalu sama, bahkan sering berlawanan arah, karena itu menyulitkan pengelolaan yang dilakukan otorita yang bertanggung jawab dalam pengelolaan moneter.
Penanganan terhadap krisis ekonomi-keuangan ini tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh Indonesia, karena itu kerjasama dan bantuan pihak lain harus terus digalang. Dalam hal ini, program yang didukung IMF semakin penting untuk dilaksanakan secara berdisiplin. Ini tidak berarti bahwa kita harus menyerah seluruhnya pada keinginan IMF, pemerintah memang harus gigih mengusahakan, mereview, melobby,dsb. Saya melihat bahwa IMF juga terus belajar, bersedia untuk lebih menyesuaikan dengan kenyataan, tetapi ini memang harus terus diperjuangkan. Perkembangan pendekatan IMF terhadap permasalahan subsidi, pinjaman swasta, penjaminan kewajiban bank, penunjukan personalia yang menangani, dsb., menunjukkan kesungguhan IMF untuk memeperhatikan berbagai implikasi yang dapat mengganggu implementasi program restrukturisasi ekonomi. Sikap tersebut dan upaya yang terkoordinir dari team perunding lebih berpotensi menghasilkan program yang realistis.
Mungkin perlu diingat bahwa keputusan meminta bantuan IMF itu datang dari pemerintah kita, dan program yang disepakati itu adalah program Indonesia yang didukung oleh IMF. Istilah program IMF, juga yang banyak dipakai media asing IMF bail out, sebenarnya tidak tepat, karena itu berbagai kritik terhadap peran IMF juga kurang tepat. Dukungan tersebut disertai penyediaan dana dan bantuan teknis. Akan tetapi sebelum memberikan dukungan tentu saja lembaga ini ingin mengetahui bagaimanakah bentuk program tersebut, apakah sesuai dengan persyaratan kelayakan yang ada ketentuannya (conditionality, istilah yang semula tabu). Yang perlu pula diingat adalah bahwa keputusan untuk meminta bantuan ke pada lembaga multilateral ini adalah untuk memperoleh dukungan dari program ekonomi yang harus dilakukan menghadapi krisis yang melanda perekonomian agar kepercayaan pasar yang menghilang dapat kembali. Karena itu yang penting tidak hanya dananya, akan tetapi dukungan tersebut, karena IMF menjadi acuan bagi hubungan bilateral Indonesia dengan negara-negara lain yang juga kita harapkan membantu, para investor asing, serta para kreditor asing. Jadi sebenarnya, suka atau tidak suka kita memang memerlukan kehadiran IMF dan lembaga-lembaga multilateral lain, seperti World Bank dan ADB. Mendudukkan hubungan kita dengan IMF secara benar ini perlu agar tidak ada pernilaian yang sering keliru mengenai bagaimana kita mensikapi IMF.
Akan tetapi, yang sangat mendesak selama penanganan masalah-masalah ini: lemahnya rupiah, inflasi, penyehatan perbankan, pinjaman perusahaan swasta, dsb., adalah mengenai pengadaan dan distribusi bahan pokok yang sangat sulit karena sarana dan prasarana jaringan distribusi yang sangat menyedihkan sebagai akibat tindakan penjarahan dan pembakaran yang sangat brutal. Ini akan memakan waktu untuk dapat pulih, akan tetapi terutama untuk pengadaan dan distribusi bahan pokok harus segera ditangani. Bantuan dan kerjasama dari luar harus pula digalakkan dalam hal ini. Dalam pembangunan sarana dan prasarana distribusi, masalah yang dihadapi tidak hanya pembangunan fisik, akan tetapi memulihkan kepercayaan pada para pelaku yang, terutama pada saat terjadinya kekacauan, merasa sama sekali tidak memperoleh perlindungan dari aparat keamanan. Berbagai pembahasan mengenai hal ini telah dilakukan, demikian pula pemyataa Presiden Habibie. Akan tetapi jelas ini tidak cukup, apalagi hanya meminta kesadaran mereka. Mereka memerlukan jaminan perlindungan untuk tidak dijadikan korban penjarahan, pembakaran, perkosaan dari orang-orang yang seolah-olah merasa berhak melakukan perbuatan yang sangat tidak beradab ini. Tanpa adanya jaminan ini rasanya sangat sulit mengharapkan sebagian besar dari mereka bersedia beroperasi lagi.
Membangkitkan kegiatan ekspor tidak dapat ditunggu terlalu lama, ini merupakan keharusan. Karena ini sebagian menyangkut penyelesaian masalah pinjaman perbankan, maka ini harus didahulukan dalam penanganannya. Dalam beberapa hal, seperti ekspor komoditi tradisional Indonesia, meskipun kemampuan ekspor itu tetap ada, hilangnya kepercayaan perbankan negara mitra dagang kita terhadap perbankan nasional mempersulit pelaksanaan ekspor tersebut. Keputusan Pemerintah untuk meminta BI membayar tunggakan pinjaman perbankan dalam money market line serta pinjaman perdagangan berkaitan dengan kesepakatan mengenai pinjaman swasta di Frankfurt 4 Juni yang lalu mudah-mudahan dapat menggelindingkan fasilitas yang sangat vital bagi realisasi ekspor ini. Dalam impor pangan dan obat-obatan, kalaupun hubungan perbankan dalam mendukung perdagangan ini tertolong dengan adanya garansi kredit, lemahnya rupiah tetap mempersulit realisasi impor tersebut. Pinjaman dan bantuan dari berbagai negara dalam kaitan ini harus terus diupayakan dan segera dilaksanakan.
PEMBAHARUAN SIKAP
Sesuai dengan keinginan gerakan reformasi yang pada dasarnya bermaksud untuk melakukan pembaruan bangsa, dalam aspek pembahasan saya mengenai krisis ekonomi-keuangan, bangsa Indonesia harus membaharui sikap, setelah krisis dapat kita lalui. Jadi, terlebih dahulu kita harus keluar dari krisis. Tetapi sikap apa yang harus mendasari kehidupan ekonomi nasional nanti? Sikap baru dalam melanjutkan kegiatan ekonomi dan pembangunan nasional setelah kita keluar dari krisis nanti harus dilandasi pada kesadaran semua pelaku bahwa baik sebagai individu, keluarga atau kelompok, sebagai perusahaan atau negara, atau bangsa Indonesia secara keseluruhan, harus sadar bahwa kita tidak bisa hidup lebih besar pasak dari pada tiang secara terus menerus.
Dalam kehidupan ekonomi nasional yang bersifat terbuka, memang dapat berlangsung keadaan di mana terdapat kesenjangan pengeluaran investasi dan tabungan nasional yang dibiayai dengan masuknya dana luar negeri dalam berbagai bentuknya. Demikian pula sektor keuangan, suatu bank, bisa saja mengalami kesenjangan antara hak dan kewajiban dalam likuiditas harian atau mengalami mismatch, menimbulkan saldo merah pada bank sentral yang ditutup dengan fasilitas diskonto. Akan tetapi kesenjangan tersebut tidak dapat berjalan terus menerus, karena perubahan sentimen pasar atau perkembangan baru yang mendadak mudah merubah keseimbangan tersebut menjadi suatu krisis yang sulit diselesaikan. Mismatch dalam suatu bank, yang pada dasarnya merupakan masalah likuiditas, kalau berjalan berkepanjangan atau kalau sektor perbankan dalam keadaan distress, sangat mudah berubah menjadi masalah solvabilitas, yang sebaiknya tidak diselamatkan melalui fasilitas bank sentral. Untuk keseluruhan ekonomi nasional, kesenjangan pengeluaran untuk investasi dan tabungan nasional yang bejalan terus-menerus akan membawa malapetaka nasional.
Kenyataan tersebut tidak hanya untuk sektor keuangan atau aspek pembiayaan dari kegiatan ekonomi, akan tetapi juga dalam aspek lain dari kehidupan, baik secara mikro maupun makro. Ketidak mampuan, kecurangan, kemunafikan atau kepalsuan dapat dan telah berlangsung di masyarakat kita. Meritocracy yang diabaikan di sektor pemerintah dan swasta, kecurangan dalam berbagai bentuknya di sektor pemerintah dan masyarakat, yang sering dikatakan telah membudaya, semuanya merupakan bentuk kesenjangan yang pada dasarnya merupakan tindakan atau cara hidup yang mengandung sifat lebih besar pasak dari tiang. Praktek-praktek ini, ditutup dengan kepalsuan dan kemunafikan yang merajalela, telah memperparah keadaan.
Upaya mencari jalan pintas seolah-olah diterima sebagai hal yang bisa diterima atau wajar-wajar saja. Orang ingin nampak pintar membeli gelar dari master sampai doktor, bahkan jabatan gurubesar. Orang kepingin cepat kaya melakukan korupsi, kepingin berkuasa melakukan kolusi untuk menduduki sutu posisi, dst. Semua perilaku yang menggambarkan tindakan yang lebih besar pasak dari tiang ini ditutup-tutupi dengan mengagungkan sikap kepalsuan dan kemunafikan. Akan tetapi semua ini tidak dapat berkesinambungan. Semua harus dibuang dalam kehidupan pasca krisis nanti. Ini saya sebutkan di sini, hanya untuk meneruskan argumentasi saya mengenai praktek-praktek kehidupan di luar ekonomi yang harus kita tinggalkan, karena tidak dapat dipertahankan lagi. Etos kerja baru harus dikumandangkan. Kita harus bangga dengan hasil jerih payah kita sendiri, yang halal, yang sesuai dengan kemampuan dan investasi kita.
BERBAGAI CATATAN.
  1. Secara umum telah saya kemukakan sebelumnya bahwa yang pertama adalah agar bangsa kita dapat keluar dari krisis yang melanda kehidupan ekonomi, sosial dan politik ini. Karena itu, di semua aspek ini fokus dari langkah yang harus diambil adalah menghentikan hemorrhage yang terus berlangsung ini. Dalam penyelesaian krisis ekonomi kita telah kehilangan banyak waktu, karena itu masalahnya bertambah besar, biaya yang harus dibayar semakin banyak. Dalam bidang ekonomi-keuangan, prioritasnya adalah menemukan jalan keluar mengenai bagaimana proses kemunduran ini dihentikan, bagaimana menimbulkan kestabilan yang harus dicapai dan dipertahankan sampai beberapa waktu untuk menimbulkan kepercayaan di dalam dan luar negeri.
  2. Karena pasar menuntut adanya kestabilan politik, adanya perlindungan hukum atas hak-hak asasi pelaku pasar untuk membangkitkan kembali kegiatan mereka, maka ini harus lebih dahulu diciptakan. Ini menyangkut pimpinan nasional dan pemerintahan yang mempunyai legitimasi dan kredibilitas. Ini dapat didahului dengan suatu signal yang jelas mengenai arah ke depan. Suatu catatan yang bemada optimis perlu dikemukakan di sini. Dalam keadaan ini antara substansi dan persepsi harus diselaraskan. Tetapi, dalam waktu yang singkat persepsi itu sangat penting untuk merubah pandangan yang negatif menjadi ekspektasi yang positif. Mungkin pengalaman Thailand dan Korea dapat dijadikan harapan, bahwa turning point itu bisa terjadi. Kalau sebelumnya semua gambaran nampak suram, setelah terjadi proses pembalikan terjadi perubahan, optimisme bangkit dan kepercayaan lahir kembali. Setelah itu, perkerjaan masih banyak, jalan masih panjang, akan tetapi langkah pertama ini harus dilakukan dulu. Hasil pertama ini harus diraih, berubahnya persepsi yang dalam dua negara itu terjadi dengan perubahan pemerintahan. Kalau reformasi dilakukan oleh pemerintah yang sama, atau pada dasarnya sama, maka signal itu harus meyakinkan pelaku pasar di dalam dan luar negeri, bahwa mereka benar-benar committed.
  3. Kalau krisis telah dilalui, maka keda keras harus dilanjutkan dengan kembali pada kegiatan pembangunan nasional. Seperti saya singgung di atas, pada waktu itu landasan kegiatan kita harus telah diperbaharui, pada dasarnya meninggalkan kebiasaan atau praktek-praktek yang tidak dapat mendukung pembangunan yang berkesinambungan (sustainable). Semua pelaku harus memperhatikan prinsip kehati-hatian (prudent), dunia usaha tidak boleh lagi highly leverage, mempunyai debt to equity ratio yang tidak sehat, apalagi dengan exposure yang terlaku tinggi resikonya. Bank dan lembaga keuangan harus benar-benar prudent, mencukupi permodalan serta mempunyai CAR yang sehat, menjalankan kegiatannya secara transparan dengan mengikuti ketentuann disclosure secara disiplin dalam sistim pengawasan yang dilaksanakan secara ketat. Ini menuntut aturan yang jelas, perlindungan hukum yang mantap. Tuntutan pasar agar dikeluarkan undang-uandang tentang kebangkrutan yang jelas adalah berkaitan dengan masalah ini.
  4. Secara individual maupun secara keseluruhan, kegiatan dari pelaku pasar dan masyarakat luas harus menyesuaikan diri dengan kemampuan. Kesenjangan antara pengeluaran investasi nasional dan tabungan nasional tidak boleh terus menerus membengkak. Tabungan nasional Indonesia tidak buruk sama sekali (sekitar 30% dari PDB), akan tetapi dengan pengeluaran investasi yang terus-menerus jauh lebih besar (35% dari PDB atau lebih), dengan pembiayaan dari luar yang kurang berhati-hati, maka akhirnya membawa mala petaka. Tabungan masyarakat nantinya harus diupayakan meningkat lagi. Dalam hubungan ini, nampaknya pengalaman negara tetangga menunjukkan bahwa sampai tingkat tertentu maka upaya meningkatkan tabungan masyarakat perlu dibantu dengan semacam forced savings, misalnya melalui program provident funds.
  5. Bagi pelaku dunia usaha swasta, mungkin perlu kesadaran dalam diri masing-masing, bahwa masalah ekonomi yang kita hadapi dewasa ini, sering dikatakan, timbul bukan karena anggaran pemerintah yang kurang hati-hati, tetapi sektor swasta yang kurang mengindahkan prinsip kehati-hatian (ekspansi yang berlebihan pada proyek-proyek yang kurang produktif, cenderung menimbulkan bubbles yang mudah busting, dengan sumber pembiayaan yang beresiko tinggi dalam bentuk pinjaman jangka pendek dari luar untuk pembiayaan proyek kurang produktif yang berjangka panjang tanpa adanya perlindungan). Ini harus dirubah setelah krisis kita lalui. Prinsip kehati-hatian tidak hanya harus dipegang oleh industri perbankan dan sektor keuangan lainnya, akan tetapi juga sektor riil. Konsumen yang membeli barang dan jasa tanpa memperhatikan kemampuan bayamya, terlalu hanyut oleh hedonisme, tergiur oleh kartu kredit atau kredit konsumsi yang kurang bertanggung jawab, berarti konsumen yang tidak bertanggung jawab. Produsen yang terlalu mengandalkan pada kredit perbankan atau lembaga keuangan lain sehingga debt to equity ratio tidak sehat berarti produsen yang tidak bertanggung jawab. Investasi yang terlalu besar resikonya dengan mengandalkan sumber pembiayaan yang juga terlalu besar resikonya, dst. Ini harus ditinggalkan jauh-jauh. Dari segi kebijaksanaan, memperingatkan pelaku pada waktu keadaan sedang bagus memang tidak akan efektif, ibarat orang sedang menikmati makanan yang enak diingatkan mengenai bahayanya mengidap kolesterol yang tinggi. Berbagai moral hazard yang menghinggapi pelaku ekonomi harus dihilangkan; pinjaman macet, meskipun sebenamya mampu membayar, tidak mengapa, kan nanti akan diampuni atau orang lain juga tidak bayar.
  6. Catatan terakhir adalah mengenai apa yang diperangi dalam gerakan reformasi yang marak ini, yaitu praktek korupsi, kolusi dan nepotisme atau KKN. Ini harus benar-benar konsekuen dilaksanakan, jangan hanya menjadi slogan, sebagaimana dimasa lalu kita senang menunjukkannya. Kita telah mendengar pemyataan Presiden Habibie, kita telah pula mendengar berbagai pejabat atau wakil rakyat melakukan pengunduran diri atau menyatakan akan mengembalikan saham yang diperoleh tidak syah, dsb. Ini jelas bukan yang kita maksud dengan gerakan memerangi KKN, atau kalau semua ini baru langkah sangat awal yang harus diikuti dengan tindakan yang mendasar, bukan kepalsuan dan kemunafikan yang saya sebutkan di atas. Tindakan tambal sulam atau setengah hati, untuk mempertahankan posisi mereka tidak banyak berbeda dengan jalan KKN untuk menempati posisi tersebut sebelumnya.
  7. Catatan dalam hal menghilangkan praktek KKN lain adalah bahwa hal ini jangan hanya terbatas pada aparat pemerintah, karena dalam kadar dan mungkin bentuk yang berbeda, hal ini juga terjadi pada sektor swasta. Mengapa hal ini juga perlu dihilangkan, karena dampaknya serupa, praktek ini menimbulkan kurang efisiennya kegiatan ekonomi masyarakat, menyumbang pada tingginya biaya ekonomi masyarakat. Dalam kaitan dengan pemberantasan KKN pada aparat pemerintahan, sektor swasta juga harus proaktif melakukannya. Mengapa demikian? Karena seperti dalam suatu transaksi, korupsi atau kolusi itu terjadi dari adanya kerjasama dua pihak, yang menerima dan yang memberi. Kesalahan pemberi upeti dalam kasus korupsi tidak hanya karena yang bersangkutan melakukan kejasama membuat kejahatan tersebut, akan tetapi hal ini juga tidak membantu pejuangan aparat yang jujur.
Suatu kecenderungan yang menyedihkan adalah bahwa sering di masyarakat kita kalau seseorang dituduh mempraktekkan KKN, yang dilakukan bukan membuktikan bahwa dia tidak melakukannya, akan tetapi menjawab dengan mengatakan bahwa orang lain juga melakukan. Padahal, bahkan kalau ini benar, tetap saja tidak menghalalkan orang melakukan tindakan tidak terpuji tersebut. Pemberantasan itu harus dimulai oleh masing-masing individu, tidak perduli apakah orang lain juga melakukan atau tidak. Sekali lagi, tindakan itu terlaksana karena kerjasama dua atau lebih pihak, yang harus menghentikan praktek bukan hanya yang menerima tetapi juga yang memberi. Jadi ini harus dilaksanakan pada aparat pemerintah, legislatif-judikatif dan keamanan serta masyarakat, tertnasuk pelaku dalam dunia usaha, dunia akademi dan bidang atau sektor lain. Semua harus dihentikan dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Pembahasan Masalah:
A.    PENGERTIAN KRISIS EKONOMI GLOBAL
         Krisis ekonomi Global merupakan peristiwa di mana seluruh sektor ekonomi pasar dunia mengalami keruntuhan dan mempengaruhi sektor lainnya di seluruh dunia. Ini dapat kita lihat bahwa negara adidaya yang memegang kendali ekonomi pasar dunia yang mengalami keruntuhan besar dari sektor ekonominya. Bencana pasar keuangan akibat rontoknya perusahaan keuangan dan bank-bank besar di Negeri Paman Sam satu per satu, tinggal menunggu waktu saja. Bangkrutnya Lehman Brothers langsung mengguncang bursa saham di seluruh dunia. Bursa saham di kawasan Asia seperti di Jepang, Hongkong, China, Asutralia, Singapura, India, Taiwan dan Korea Selatan, mengalami penurunan drastis 7 sd 10 persen. Termasuk bursa saham di kawasan Timur Tengah, Rusia, Eropa, Amerika Selatan dan Amerika Utara. Tak terkecuali di AS sendiri, Para investor di Bursa Wall Street mengalami kerugian besar.

B.     AKIBAT TERJADINYA KRISIS EKONOMI GLOBAL
1.      AKIBAT KRISIS EKONOMI GLOBAL BAGI LUAR NEGERI
         Pada tahun 1907 krisis perbankan Internasional dimulai di New York, setelah beberapa decade sebelumnya yakni mulai tahun 1860-1921 terjadi peningkatan hebat jumlah bank di Amerika s/d 19 kali lipat. Selanjutnya, tahun 1920 terjadi depresi ekonomi di Jepang. Kemudian pada tahun 1922 – 1923 German mengalami krisis dengan hyper inflasi yang tinggi. Karena takut mata uang menurun nilainya, gaji dibayar sampai dua kali dalam sehari. Selanjutnya, pada tahun 1927 krisis keuangan melanda Jepang (37 Bank tutup); akibat krisis yang terjadi pada bank-bank Taiwan
Pada tahun 1929 – 30 The Great Crash (di pasar modal NY) & Great Depression (Kegagalan Perbankan); di US, hingga net national product-nya terbangkas lebih dari setengahnya. Selanjutnya, pada tahun 1931 Austria mengalami krisis perbankan, akibatnya kejatuhan perbankan di German, yang kemudian mengakibatkan berfluktuasinya mata uang internasional. Hal ini membuat UK meninggalkan standard emas. Kemudian1944 – 66 Prancis mengalami hyper inflasi akibat dari kebijakan yang mulai meliberalkan perekonomiannya. Berikutnya, pada tahun 1944 – 46 Hungaria mengalami hyper inflasi dan krisis moneter. Ini merupakan krisis terburuk eropa. Note issues Hungaria meningkat dari 12000 million (11 digits) hingga 27 digits.
Pada tahun 1945 – 48 Jerman mengalami hyper inflasi akibat perang dunia kedua.. Selanjutnya tahun 1945 – 55 Krisis Perbankan di Nigeria Akibat pertumbuhan bank yang tidak teregulasi dengan baik pada tahun 1945. Pada saat yang sama, Perancis mengalami hyperinflasi sejak tahun 1944 sampai 1966. Pada tahun (1950-1972) ekonomi dunia terasa lebih stabil sementara, karena pada periode ini tidak terjadi krisis untuk masa tertentu. Hal ini disebabkan karena Bretton Woods Agreements, yang mengeluarkan regulasi di sektor moneter relatif lebih ketat (Fixed Exchange Rate Regime). Disamping itu IMF memainkan perannya dalam mengatasi anomali-anomali keuangan di dunia. Jadi regulasi khususnya di perbankan dan umumnya di sektor keuangan, serta penerapan rezim nilai tukar yang stabil membuat sektor keuangan dunia (untuk sementara) "tenang".
Namun ketika tahun 1971 Kesepakatan Breton Woods runtuh (collapsed). Pada hakikatnya perjanjian ini runtuh akibat sistem dengan mekanisme bunganya tak dapat dibendung untuk tetap mempertahankan rezim nilai tukar yang fixed exchange rate. Selanjutnya pada tahun 1971-73 terjadi kesepakatan Smithsonian (di mana saat itu nilai 1 Ons emas = 38 USD). Pada fase ini dicoba untuk menenangkan kembali sektor keuangan dengan perjanjian baru. Namun hanya bertahan 2-3 tahun saja.
Pada tahun 1973 Amerika meninggalkan standar emas. Akibat hukum "uang buruk (foreign exchange) menggantikan uang bagus (dollar yang di-back-up dengan emas)-(Gresham Law)". Pada tahun 1973 dan sesudahnya mengglobalnya aktifitas spekulasi sebagai dinamika baru di pasar moneter konvensional akibat penerapan floating exchange rate sistem. Periode Spekulasi; di pasar modal, uang, obligasi dan derivative. Maka tak aneh jika pada tahun 1973 – 1874 krisis perbankan kedua di Inggris; akibat Bank of England meningkatkan kompetisi pada supply of credit.
         Pada tahun 1974 Krisis pada Eurodollar Market; akibat west German Bankhaus ID Herstatt gagal mengantisipasi international crisis. Selanjutnya tahun 1978-80 Deep recession di negara-negara industri akibat boikot minyak oleh OPEC, yang kemudian membuat melambung tingginya interest rate negara-negara industri.
Selanjutnya sejarah mencatat bahwa pada tahun 1980 krisis dunia ketiga; banyaknya hutang dari negara dunia ketiga disebabkan oleh oil booming pada th 1974, tapi ketika negara maju meningkatkan interest rate untuk menekan inflasi, hutang negara ketiga meningkat melebihi kemampuan bayarnya. Pada tahun 1980 itulah terjadi krisis hutang di Polandia; akibat terpengaruh dampak negatif dari krisis hutang dunia ketiga. Banyak bank di eropa barat yang menarik dananya dari bank di eropa timur.
Pada saat yang hampir bersamaan yakni di tahun 1982 terjadi krisis hutang di Mexico; disebabkan outflow kapital yang massive ke US, kemudian di-treatments dengan hutang dari US, IMF, BIS. Krisis ini juga menarik Argentina, Brazil dan Venezuela untuk masuk dalam lingkaran krisis.
         Perkembangan berikutnya, pada tahun 1987 The Great Crash (Stock Exchange), 16 Oct 1987 di pasar modal US & UK. Mengakibatkan otoritas moneter dunia meningkatkan money supply. Selanjutnya pada tahun 1994 terjadi krisis keuangan di Mexico; kembali akibat kebijakan finansial yang tidak tepat. Pada tahun 1997-2002 krisis keuangan melanda Asia Tenggara; krisis yang dimulai di Thailand, Malaysia kemudian Indonesia, akibat kebijakan hutang yang tidak transparan. Krisis Keuangan di Korea; memiliki sebab yang sama dengan Asteng.
         Kemudian, pada tahun 1998 terjadi krisis keuangan di Rusia; dengan jatuhnya nilai Rubel Rusia (akibat spekulasi) Selanjutnya krisis keuangan melanda Brazil di tahun 1998. pad saat yang hamper bersamaan krisis keuangan melanda Argentina di tahun 1999. Terakhir, pada tahun 2007-hingga saat ini, krisis keuangan melanda Amerika Serikat. Dari data dan fakta historis tersebut terlihat bahwa dunia tidak pernah sepi dari krisis yang sangat membayakan kehidupan ekonomi umat manusia di muka bumi ini.
 2.      AKIBAT KRISIS EKONOMI GLOBAL BAGI DALAM NEGERI
Resesi ekonomi yang kini melanda AS, juga gejolak keuangan di beberapa belahan dunia, tak boleh dipandang remeh. Pemerintah harus waspada dan antisipatif, karena resesi ekonomi AS kemungkinan semakin parah sehingga bisa berdampak hebat terhadap kehidupan ekonomi di dalam negeri. Di sisi lain, sektor keuangan di beberapa belahan dunia yang lain kini juga bergejolak dan potensial berimbas ke mana-mana, termasuk ke Indonesia.
Eropa Timur dan Amerika Latin sebenarnya pernah mengalami krisis ekonomi dan keuangan. Namun, saat itu krisis tersebut lebih karena pengaruh pergolakan politik di masing-masing negara. Tapi kini krisis ekonomi di kedua kawasan amat potensial karena bubble di sektor keuangan sudah amat berlebihan. Artinya, bubble tersebut hampir pasti segera pecah. Celakanya, kalau negara-negara berkembang yang terkena krisis ekonomi, lembaga-lembaga keuangan internasional cenderung lepas tangan. Akibatnya, krisis yang terjadi bisa sangat parah dan potensial mengimbas ke wilayah lain.
Warung-warung di pelosok Jakarta kini bertumbangan ke jurang kebangkrutan. Itu sebagai bukti bahwa rakyat kebanyakan sudah tak berbelanja lagi. Sementara lapisan atas justru berbelanja keperluan sehari-hari ke pasar-pasar modern milik pengusaha besar. Ini menyebabkan kefailitan raksasa bagi dunia bisnis.
Saat ini dampak resesi ekonomi global yang paling dirasakan adalah pada masyarakat menengah ke atas, terlebih mereka yang bermain saham, valuta asing dan investasi emas.
Dari pantauan media di sejumlah pasar di tanah air, sejak BEJ melakukan suspend pada Jum’at (10/10) kemarin, harga bahan-bahan pangan mulai merangkak naik. Jika sudah begini, masyarakat bawah yang paling merasakan dampaknya.
Walau beberapa kebutuhan pokok, seperti harga beras masih bertahan yakni untuk jenis IR 64 berkisar; Rp6.000/kg, beras kuku balam super; Rp7.000/ kg, minyak goreng; Rp.8000/kg dan gula pasir Rp.6.000/kg relatif stabil. Demikian juga dengah harga ayam kampung yang tetap di harga Rp40.000/kg dan telur bebek Rp1.300-Rp1.400 per butir. Namun, tak ada jaminan harga-harga kebutuhan pokok ini tidak akan merangkak naik.
Sedangkan harga bahan pangan lainnya seperti daging lembu yang sempat bertengger di posisi Rp 60.000-Rp65.000/kg, turun menjadi Rp.45.000/kg. Sedangkan harga-harga yang mulai naik, antara lain; ayam potong yang beberapa waktu lalu Rp22.000/kg, kini menjadi Rp.25.000/kg. Telur ayam potong yang kemarin sempat Rp800-Rp850/butir, kini naik, Rp.2000/butir. Harga sayur mayur seperti cabai merah Rp20.000/kg, naik menjadi Rp. 30.000/kg. Adapun bawang merah Rp9.000 naik menjadi Rp10.000/kg; tomat naik ke posisi Rp 6.000 per kg dari Rp.5000/kg.
Selain itu, kenaikan harga bahan baku di sektor properti akibat pengaruh krisis ekonomi global, sangat mungkin terjadi. Seperti di kutip dari Antara.co.id, Wakil Ketua DPD Real Estate Indonesia (REI) Jawa Tengah, Adib Adjiputra, di Solo, beberapa waktu lalu mengatakan, harga bahan baku yang diproduksi di dalam negeri maupun luar negeri, berpotensi terpengaruh oleh krisis ekonomi ini.
Harga bahan baku seperti besi, keramik, semen dan sejumlah aksesori rumah lainnya yang berasal dari industri manufaktur, kata dia, sangat rentan mengalami kenaikan.
Kenaikan bahan baku akibat dampak krisis ekonomi ini akan semakin menyulitkan sektor properti, setelah sebelumnya juga diterpa kenaikan harga bahan baku akibat kenaikan bahan bakar minyak (BBM).
Pada sektor properti ini, tipe rumah kelas menengah ke atas yang akan paling besar terkena dampak terjadinya krisis ekonomi ini. Kenaikan tingkat suku bunga pasti akan mengikutinya. Sehingga harga cicilan rumah perbulannya akan naik. Sedangkan untuk rumah kelas menengah ke bawah sedikit tidak berpengaruh karena sebagian sudah disubsidi pemerintah.

C.    SEPULUH CARA MENGATASI KRISIS EKONOMI GLOBAL OLEH PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
            Presiden menegaskan 10 langkah yang harus ditempuh semua pihak untuk menghadapi krisis keuangan yang terjadi di Amerika Serikat (AS), sehingga tidak berdampak buruk terhadap pembangunan nasional.
 Pertama, Presiden mengajak semua pihak dalam menghadapi krisis global harus terus memupuk rasa optimisme dan saling bekerjasama sehingga bisa tetap menjagar kepercayaan masyarakat.
Kedua, pertumbuhan ekonomi sebesar enam persen harus terus dipertahankan antara lain dengan terus mencari peluang ekspor dan investasi serta mengembangkan perekonomian domestik.
Ketiga adalah optimalisasi APBN 2009 untuk terus memacu pertumbuhan dengan tetap memperhatikan `social safety net` dengan sejumlah hal yang harus diperhatikan yaitu infrastruktur, alokasi penanganan kemiskinan, ketersediaan listrik serta pangan dan BBM.
Untuk itu perlu dilakukan efisiensi penggunaan anggaran APBN maupun APBD khususnya untuk peruntukan konsumtif.
Keempat, ajakan pada kalangan dunia usaha untuk tetap mendorong sektor riil dapat bergerak. Bila itu dapat dilakukan maka pajak dan penerimaan negara bisa terjaga dan juga tenaga kerja dapat terjaga. Sementara Bank Indonesia dan perbankan nasional harus membangun sistem agar kredit bisa mendorong sektor riil. Di samping itu, masih menurut Kepala Negara, pemerintah akan menjalankan kewajibannya untuk memberikan insentif dan kemudahan secara proporsional.
Kelima, semua pihak lebih kreatif menangkap peluang di masa krisis antara lain dengan mengembangkan pasar di negara-negara tetangga di kawasan Asia yang tidak secara langsung terkena pengaruh krisis keuangan AS.
Keenam, menggalakkan kembali penggunaan produk dalam negeri sehingga pasar domestik akan bertambah kuat.
Ketujuh, perlunya penguatan kerjasama lintas sektor antara pemerintah, Bank Indonesia, dunia perbankan serta sektor swasta.
Kedelapan, semua kalangan diharapkan untuk menghindari sikap ego-sentris dan memandang remeh masalah yang dihadapi.
Kesembilan, mengingat tahun 2009 merupakan tahun politik dan tahun pemilu, kaitannya dengan upaya menghadapi krisis keuangan AS adalah memiliki pandangan politik yang non partisan, serta mengedepankan kepentingan rakyat di atas kepentingan golongan maupun pribadi termasuk dalam kebijakan-kebijakan politik.
Kesepuluh, Presiden meminta semua pihak melakukan komunikasi yang tepat dan baik pada masyarakat. Tak hanya pemerintah dan kalangan pengusaha, serta perbankan, Kepala Negara juga memandang peran pers dalam hal ini sangat penting karena memiliki akses informasi pada masyarakat.

D.    TANGGAPAN MAHASISWA TERHADAP KRISIS EKONOMI GLOBAL
         Sebagai insan kritis dan intelektual, kita harus menyadari dan mengakui dampak hebat dari krisis ekonomi global ini. Karena ini bukan saja merupakan masalah negara saja, kita sebagai rakyat yang juga terkena akibat dari krisis ini. Sehingga menjadi kewajiban kita untuk ambil bagian dalam mencari pemecahan persoalan dalam permasalahan ini.
         Dalam persoalan sehari-hari kita sebagai rakyat melakukan sesuatu apa adanya. Dengan cara menghemat dan selektif dalam memilih kebutuhan pokok khususnya, adalah salah satu cara kita menghadapi krisis ekonomi global. Saran bagi pemerintahan adalah untuk lebih memperhatikan sektor usaha kecil yang sejujurnya hampir tidak terlirik oleh pemerintah yang terlalu memprioritaskan usaha raksasa (perusahaan) , BUMN, dan jasa umum. Padahal sektor usaha kecil adalah salah satu sumber mata pencaharian rakyat yang harusnya dibesarkan. Usaha kecil dimungkinkan untuk menarik banyak investor untuk menanamkan modalnya, sehingga rakyat menjadi mandiri dan pemerintah menjadi lebih diringankan untuk permasalahan pemberdayaan ekonomi rakyat. Untuk selanjutnya pemerintah tinggal menjalankan program kerja untuk mengatasi krisis global tersebut sehingga rakyat dan pemerintah menjadi partner dalam menanggulangi permasalahan ini.



Penutup :
A.    KESIMPULAN
         Setelah membaca makalah di atas, dapat disimpulkan bahwa:
a.       Krisis ekonomi Global merupakan peristiwa di mana seluruh sektor ekonomi pasar dunia mengalami keruntuhan dan mempengaruhi sektor lainnya di seluruh dunia
b.      Krisis ekonomi Global terjadi karena permasalahan ekonomi pasar di sluruh dunia yang tidak dapat dielakkan karena kebangkrutan maupun adanya situasi ekonomi yang carut marut.
c.       Sektor yang terkena imbasan Krisis Ekonomi Global adalah seluruh sektor bidang kehidupan. Namun yang paling tampak gejalanya adalah sektor bidang ekonomi dari terkecil hingga yang terbesar.
d.      Cara mengatasi permasalah Krisis ekonomi bagi masyarakat adalah lebih selektif dalam memenuhi kebutuhan dan bersikap kooperatif bersama pemerintah dan sebaliknya dari pemerintah untuk lebih sigap dalam situasi masyarakat.
e.       Sebagai mahasiswa kita harus kritis dan menanggapi dengan cepat permasalahan kehidupan yang terjadi saat ini khususnya krisis ekonomi global ini. Paling tidak dari hal kecil, sehingga untuk hal besar kita akan lebih siap menghadapinya.

B.     SARAN
         Kepada masyarakat untuk tetap bersabar terhadap situasi permasalahan kita ini dan mempercayakan segala sesuatu kepada pemerintah. Dan dimulai dari pribadi dan diri sendiri, untuk mengikuti saran yang telah dituliskan di atas. Dan bagi para mahasiswa untuk menjadi lebih kritis. Semoga makalah ini menjadi kajian yang baik meskipun masih terdapat kekurangan. Atas perhatian dari seluruh pihak, kami ucapkan terima kasih.

 Daftar Pusaka :

 http://pendidikan4sejarah.blogspot.com/2011/05/krisis-ekonomi-dan-kondisi-sosial.html
http://www.muslimdaily.net/opini/1880/prinsip-dan-akar-masalah-krisis-ekonomi-kapitalis
http://www.pacific.net.id/pakar/sj/moneter.html
http://ekookdamezs.blogspot.com/2011/02/makalah-ilmu-ekonomi-krisis-ekonomi.html